Welcome to our website !

STUDI HADIS


BIOGRAFI SINGKAT
PARA IMAM PENGHIMPUN HADITS
A.     IMAM MALIK BIN ANAS (94 – 179 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr bin Harits bin Gaiman bin Kutail bin ‘Amr bin Harits Al-Ashbahi. Terkenal juga dengan sebutan Imam Dar Al-Hijrah.[1] Ia lahir pada tahun 94 H/712 M di kota Madinah daerah Hijaz. Dari riwayat ini, ia adalah keturunan Arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Hamyar.
Semenjak kanak-kanak, ia terdidik dalam suasana lingkungan yang kondusif dan mendukung. Hidup di tengah-tengah sahabat yang cerdik dan para hukum agama, sebagai anak yang cerdas cepat menerima pelajaran yang kuat dalam berpikir dan memiliki daya kritis yang tinggi.
Pada saat tumbuh dewasa, ia mengayuhkan langkahnya ke kota Madinah, guna menimba ilmu pengetahuan. Tampaknya ia yakin bahwa sudah cukup baginya kota Madinah sebagai pusat menimba ilmu. Oleh karena itulah, ajaran Islam lahir yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya dan tabiin. Banyak juga para pendatang yang menetap disana dan berbagai kepentingan, termasuk mendalami ilmu pengetahuan Islam.
Kesungguhannya dalam menekuni agama Islam telah menjadikan Imam Malik sebagai seorang panutan di bidang fiqh dan hadits. Bahkan, dalam bidang fiqh, ia dikenal sebagai pendiri salah satu mazhab fiqh, yaitu Mazhab Maliki.
Sebagai sosok ulama besar yang memiliki pengaruh sangat luas, Imam Maliki memiliki budi pekerti yang luhur, sopan santun, lemah lembut, mengasihi fakir miskin, dan gemar memberikan bantuan kepada orang lain.
Mengenal sikap pribadi dan kepandaian Imam Malik, beberapa tokoh terutama oleh An-Nasa’I mengatakan bahwa, “Pada sisiku tidak ada orang yang lebih pandai dari Malik. Dia orang yang mulia yang dapat dipercaya serta paling jujur.” Bahkan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya sesudah tabiin.
Setelah 60 tahun mencurahkan tenaga, harta benda, dan pikirannya khalayak ramai tentang ilmu Islam, pada hari Ahad tanggal 10 Rabiul Awwal 179 H/798 M, Imam Malik kembali ke rahmatullah dengan tenang, dalam usia 87 tahun.
Kitab Al-Muwaththa’ merupakan karya monumental Imam Malik dalam bidang hadits. Tampaknya, Imam Malik mengumpulkan banyak sekali bahan dan memilih beberapa ribu hadits yang dituangkan dalam kitabnya tersebut. Ia selalu merivisi karya ini dan akibatnya mengurangi jumlah isinya. Karena itu, kitab ini memliki lebih dari 80 versi. Lima belas diantaranya lebih terkenal, dan kini hanya tinggal versi Yahya yang bisa diperoleh dalam bentuk orisinal, lengkap, dan tercetak. Versi ini berisi hadits Nabi, atsar sahabat, dan atsar ulama kemudian. Jumlah total hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa’ adalah 1.726, yang terdiri dari 600 hadits marfu’, 613 hadits mauquf, 285 hadits maqtu, dan 28 hadits mursal.
Selain Al-Muwaththa’, Imam Malik juga banyak menghasilkan karya-karya lainnya, di antaranya Risalah ila Ibn Wahb fi Al-Qadr, Kitab An-Nujum, Risalah fi Al-Aqdhiyah, Tafsir Gharib Al-Quran, Risalah ila Al-Laits bin Sa’d, Risalah ila Abu Ghassan, Kitab Al-Siyar, Kitab Al-Manasik.
Nasib kebanyakan kitab ini tidak diketahui. Namun, Imam Malik termashyur karena mazhab pemikirannya, kepribadiannya, keulamaan, dan kitab Al-Muwaththa’-nya.[2]
B.      AHMAD BIN MUHAMMAD BIN HANBAL (164 – 241 H)
Imam Ahmad, (nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani Al-Marwazi, dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afghanistan dan utara Iran) pada tanggal 20 Rabiul Awwal 164 H/781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad, Irak.
Ia telah mempelajari hadits sejak kecil dan untuk mempelajari hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, dan negara-negara lainnya sehingga ia menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa kitab Ahmad bin Hanbal yang sebanyak 12 buah sudah hafal di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi’I mengatakan tentang diri Imam Ahmad sebagai berikut, “Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan disana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal.[3]
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun sebuah Musnad, yang di dalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak ditemukan oleh orang lain. Musnad Ahmad bin Hanbal ini terdiri dari 6 jilid yang memuat tidak kurang dari 30.000 – 40.000 hadits yang telah ia seleksi dari dari 75.000 hadits.[4]
Selain Al-Musnad, Imam Ahmad juga menulis banyak kitab, di antaranya At-Tafsir, An-Nasikh wa Al-Mansukh, At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wa Al-Mu’akkhar fi Al-Qur’an, Jawabah Al-Qur’an, Al-Manasik Al-Kabir, Al-Manasik Ash-Shaghir, Al-‘Ilal, Al-Manasik, Az-Zuhd, Al-Iman, Al-Masa’il, Al-Asyribah, Al-Fadha’il, Tha’ah Ar-Rasul, Al-Fara’idh, Ar-Radd ala Al-Jahmiyyah.[5]
C.      IMAM BUKHARI (194 – 256 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ja’fi bin Bardizbah Al-Bukhari. Ia dilahirkan bulan Syawal 194 H di negeri Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah sehinggan lebih dikenal dengan nama Al-Bukhari. Ia sangat alim di bidang hadits dan telah menyusun sebuah kitab yang kesahihannya disepakati oleh umat Islam dari zaman dahulu hingga sekarang.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayah Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang wara’, dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya, terlebih hal yang haram. Ia seorang ulama bermazhab Maliki dan murid Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fiqh. Ia wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun, bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci, terutama Mekah dan Madinah, untuk mengikuti kuliah dari para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun, ia menerbitkan kitab pertama Qadhaya Shahabah wa Tabi’in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya, Syekh ishaq, ia menghimpun hadits-hadits sahih dalam satu kitab, dan dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 rawi disaring menjadi 7.275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok Bukhari kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecokelatan, ramah, dermawan, dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para rawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya, antara lain Bashrah , Mesir, Hijaz (Mekah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota itu, ia bertemu dengan 80.000 rawi. Dari merekalah, Bukhari mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun, tidak semua hadits yang dia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu  diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah rawi (periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqah (kuat). Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, Bukhari menulis sebanyak 9.082 hadits dalam karya monumentalnya, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Di antara guru-gurunya dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits, antara lain Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi, Makki bin Ibrahim Al-Bakhi, dan Muhammad bin Yusuf Al-Baykandi. Selain itu, ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab shahih-nya. Banyak pula ahli hadits yang berguru kepadanya, seperti Syeikh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmizi, Muhammad Ibn Nasr, dan Imam Muslim.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para rawi, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para rawi juga cukup halus, namun tajam. Kepada rawi yang sudah jelas kebohongannya, ia berkata, “Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu.” Sementara kepada para rawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan, “Haditsnya diingkari.” Bahkan, banyak meninggalkan rawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata, “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan rawi, yang dalam pandangan saya perlu dipertimbangkan.”
Banyak ulama atau rawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, ia berkali-kali mendatangi ulama atau rawi meskipun berada di kota atau negeri yang jauh, seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz, seperti yang dikatakannya, “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Bashrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama hadits.”
Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama dan pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqh, bahkan tidak lupa dengan kegiatan-kegiatan olahraga dan rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah, kecuali dua kali.
Kebesaran akan keilmuan Imam Bukhari diakui dan dikagumi sampai seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal Imam Muslim, seorang ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan Imam Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Ia juga disambut oleh guru-gurunya, Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama, dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari.” Namun, kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukahri meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara, Imam Bukhari disambut secara meriah. Namun, ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand, sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun, disana, ia jatuh sakit selama beberapa hari. Dan akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas shalat Dzuhur pada hari raya Idul Fitri.[6]
Imam Bukhari banyak menghasilkan karya-karya, sebagian telah musnah dan sebagian lagi masih ada di tengah-tengah kita. Karya-karya Imam Bukhari di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Al-Adab Al-Mufrad, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir, At-Tarikh Ash-Shaghir, At-Tarikh Al-Ausath, At-Tarikh Al-Kabir, At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Mazaya Shahabah wa Tabi’in, Kitab Al-Ilal, Raf’ul Yadain fi Ash-Shalah, Birr Al-Walidain, Kitab Ad-Du’afa, Asami Ash-Shahabah, Al-Hibah, Khalq Af’al Al-Ibad.­
Di antara karya Imam Bukhari tersebut, yang paling terkenal adalah Al-Jami’ Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah wa Sunanih wa Ayyamih. Jumlah hadits dalam kitab ini adalah 9.082 buah. Bila tanpa yang diulang, jumlahnya 2.602 buah. Jumalh ini tak termasuk hadits mauquf dan ucapan para tabiin.[7]
D.     IMAM MUSLIM (202 – 261 H)
Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi. Ia lahir pada tahun 202 H dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 H dan dikuburkan di Naisaburi.
Ia juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima hadits dari Imam Muslim, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab sahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits sahih ini, Shahih Muslim dan Shahih Bukhari, biasa disebut dengan Ash-Shahihain. Kedua tokoh hadits ini biasa disebut Asy-Syakhani atau  Asy-Syakhaini, yang berarti dua orang tua, yang maksudnya dua tokoh ulama ahli hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak usia 16 tahun,yaitu mulai tahun 218 H. ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan negara-negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray, ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan; di Irak, ia berguru kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, ia belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir, ia berguru kepada ‘Amr bin Sawad, Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits lainnya.[8]
Ia berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, ia sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung dengan Bukhari sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahih-nya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal Az-Zihli adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Shahih-nya, yang diterima dari Bukhari, padahal Bukhari pun gurunya. Tampaknya menurut Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu ke dalam Shahih-nya, namun tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu Sore dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H/5 Mei 875 M dalam usia 55 tahun.
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Muslim), Al-Musnad Al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para rawi hadits), Al-Asma wal-Kuna, Al-Ilal, Al-Aqran, Su’alat Ahmad bin Hanbal, Al-Intifa’ bi Uhubis-Siba’, Al-Muhadramin, Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid, Auladish-Shahabah, Auham Al-Muhadditsin.
Di antara karya-karya tersebut, yang termasyhur adalah Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-Sunan bi Naql Al-‘Adl ‘an Rasul Allah. Menurut perhitungan M. Fuad ‘Abd Al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadits.[9]
E.      IMAM AN-NASA’I (215 – 303 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurahman Ahmad ibn Syu’aib bin ‘Ali ibn Abi Bakar ibn Sinan An-Nasa’i.[10] Ia terkenal dengan nama An-Nasa’i karena dinisbatkan dengan kota Nasa’i, salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 H demikian menurut Adz-Dzahabi, dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 H di Palestina, kemudian dikuburkan di Baitul Maqdis.
Imam An-Nasa’i menerima hadits dari Sa’id, Ishaq bin Rwahih, dan ulama-ulama lainnya dari kalangan tokoh ulama ahli hadits di Khurasan, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Imam An-Nasa’I termasuk di antara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad haditsnya. Menurut para ulama ahli hadits, Imam An-Nasa’I lebih kuat hafalannya dibandingkan Imam Muslim dan kitab ­Sunan An-Nasa’i lebih sedikit hadits dhaif-nya (lemah) setelah hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Imam An-Nasa’i pernah menetap di Mesir.
Para gurunya yang namanya harum tercatat oleh pena sejarah, antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Daud (penyusun Sunan Abi Daud), dan Imam Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun Al-Jami’ atau Sunan At-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah Imam An-Nasa’i, antara lain Abu Al-Qasim At-Thabrani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir As-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin Al-Ahmar An-Andalusi, Abu Nashr Al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad As-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai ‘penyambung lidah’ Imam An-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan An-Nasa’i.
Sudah mafhum di kalangan peminat kajian hadits  dan ilmu hadits, para Imam hadits merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunan inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Karangan-karangan Imam An-Nasa’i yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan Al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab As-Sunan Al-Kubra), Al-Khashais, Fadhail Ash-Shahabah, dan Al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn Al-Atsir Al-Jazairi dalam kitabnya Jami Al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan As-Sunan Al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, ia kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada An-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadits sahih?” Ia menjawab dengan kejujuran, “Ada yang sahih, hasan, dan ada pula yang serupa denagnnya.”
Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, pisahkanlah hadits yang sahih-sahih saja.” Atas permintaan Amir ini, An-Nasa’i kemudian menyeleksi dengan ketat semua haditsyang telah tertuang dalam kitab As-Sunan Al-Kubra. Akhirnya, ia berhasil melakukan prampingan terhadap As-Sunan Al-Kubra sehingga menjadi As-Sunan Al-Sughra. Dari segi penerimaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab pertama.
Imam An-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karena itu, banyak ulama berkomentar, “Kedudukan kitab As-Sunan Al-Sughra di bawah derajat Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadits dhaif yang terdapat di dalamnya.” Karena hadits-hadits yang termuat dalam kitab kedua (As-Sunan Al-Sughra) merupakan hadits-hadits pilihan yang telah diseleksi dengan ketat, kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba. Pengertian Al-Mujtaba bersinonim dengan Al-Maukhtar (yang terpilih) karena memang kitab ini berisi hadits-hadits pilihan hasil seleksi dari kitab As-Sunan Al-Kubra.
Di samping Al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan Al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan Al-Mujtaba, sehingga nama As-Sunan Al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama Al-Mujtaba. Dari Al-Mujtaba inilah, kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan An-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Tampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kita perlu menilai jawaban Imam An-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis ketika ia mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadits-hadits yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya sahih, tetapi ada pula yang hasan dan ada pula yang menyerupainya. Ia tidak mengatakan bahwa di dalamnya terdapat hadits dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu). Ini artinya ia tidak pernah memasukkan sebuah hadits pun yang dinilai sebagai hadits dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangannya.
Setelah hadits-hadits yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya Imam An-Nasa’i hanya menuliskan hadits yang berkualitas sahih semata, bisa diambil kesimpulan, apabila hadits hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadits yang berkualitas dhaif atau maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadits-hadits sahih.
Namun demikian, Ibn Al-Jauzy, pengarang kitab Al-maudhuat (hadits-hadits palsu), mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di dalam kitab As-Sunan Al-Sughra tidak semuanya berkualitas sahih, namun ada yang maudhu’. Ibn Al-Jauzy menemukan sepuluh hadits maudhu’ di dalamnya sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas As-Sunan Al-Sughra. Seperti yang telah disinggung di muka, hadits itu semua sahih menurut Imam An-Nasa’i. Adapun penilaian orang belakangan bahwa di antara hadits tersebut ada yang maudhu’ merupakan pandangan subjektivitas penilai. Masing-masig orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadits. Demikian pula, kaidah yang ditawarkan Imam An-Nasa’i dalam menilai kesahihan sebuah hadits tampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn Al-Jauzy. Hal ini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn Al-Jauzy terhadap keotentikan karya monumental Imam An-Nasa’i ini tampaknya mendapat bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadits abad ke-9, yakni Imam Jalal Ad-Din As-Suyuthi. Menurutnya, dalam Sunan An-Nasa’i, memang terdapat hadits yang sahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja, jumlahnya relatif sedikit. Imam As-Suyuthi tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadits maudhu’ yang termuat dalam Sunan An-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn Al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwa hadits yang ada di dalam kitab Sunan An-Nasa’i semuanya berkualitas sahih, merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli, kecuali maksud pernyataan itu bahwa sebagian besar isi kitab Sunan An-Nasa’i berkualitas sahih.
Setahun menjelang wafat, Imam An-Nasa’i pindah dari Mesir ke Damsyik. Tampaknya, tidak konsensus ulama tentang tempat meninggalnya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i wafat di Mekah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah Al-‘Uqbi Al-Mishri.
Sementara ulama lain, seperti Imam Al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam An-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far At-Thahawi (murid An-Nasa’i), Abu Bakar Al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam An-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H/915 M dan dikebumikan di Bait Al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasulullah guna menyebarluaskan hadits mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.[11]
Imam An-Nasa’i menyusun banyak karya, di antaranya As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan Al-Mujtaba, Kitab At-Tamyiz, Kitab Adh-Dhu’afa, Khasa’is Ali, Musnad Ali, Musnad Malik, Manasik Al-Hajj, dan Tafsir.[12]
F.       ABU DAWUD (202 – 275 H)
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syihab ibn Amar bin ‘Amran Al-Azdi As-Sijistani.
Abu Dawud adalah seorang perawi hadits yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Untuk mengumpulkan hadits, ia bepergian ke Saudi Arabia, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishabur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya sebagai salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau, yaitu Al-Asy’ats bin Ishaq adalah seorang rawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid. Demikian juga saudaranya, Muhammad bin Al-Asy’ats, termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmunya, merupakan teman perjalanan Imam Abu Dawud dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Imam Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, ia sudah berada di Baghdad, dan di sana, ia melayat ke kediaman Imam Muslim, sebagaimana yang ia katakana, “Aku menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya.” Walaupun telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistan, seperti Khurasan, Baghlan, Harron, Roi, dan Naisabur, setelah Imam Abu Dawud masuk kota Baghdad, ia diminta oleh Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashrah, dan ia menerimanya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat ia berhenti dalam mencari hadits.
Kemudian, ia mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Ia langsung berguru selama bertahun-tahun. Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr Adh-Dhariri, Abu Walid Ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuharir bin Harb, Ad-Damiri, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan ulama lainnya.
Murid-muridnya cukup banyak, antara lain, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Abu Ubaid Al-Ajury, Abu Thayib Ahmad bin Ibrahim Al-Baghdadi (perawi sunan Abi Dawud dari Imam Abu Dawud), Abu ‘Amr Ahmad bin Ali Al-Bashry (rawi kitab Sunan dari Imam Abu Dawud), Zakariya bin Yahya As-Saajy, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad bin Sulaiman An-Najjar (rawi kitab Nasikh wal Mansukh dari Imam Abu Dawud), Muhammad bin Bakrbin Daasah At-Tammar (rawi sunan dari Imam Abu Dawud), Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’y (rawi sunan dari Imam Abu Dawud), Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub Al-Matutsy Al-Bashry (rawi kitab Al-Qadar dari Imam Abu Dawud).
Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan haditsnya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Quran, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling otentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai oleh Imam Abu Dawud dan sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Abu Dawud, di antaranya Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’i. Al-Khataby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A’raby berkata bahwa barang siapa yang sudah menguasai Al-Quran dan kitab Sunan Abu Dawud, dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Imam Abu Dawud adalah imam dari imam-imam ahlusunnah wal jamaah yang hidup di Bashrah, kota berkembangnya kelompok Qadariyah dan pemikiran Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyah, serta lain-lainnya. Walaupun demikian, ia tetap dalam keistiqamahan di atas sunnah dan membantah Qadariyah dengan kitabnya Al-Qadar. Demikian pula, bantahannya atas Khawarij dalam kitabnya Akhbar Al-Khawarij dan membantah pemahaman yang menyimpang  dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As-Sunan yang di dalamnya terdapat bantahan-bantahannya terhadap Jahmiyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Abu Dawud wafat di kota Bashrah tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan jenazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al-Haasyimy.
Selama hidupnya, Imam Dawud menghasilkan karya-karya, di antaranya Al-Marasil, Masa’il Al-Imam Ahmad, Al-Nasikh wa Al-Mansukh, Risalah fi Washf Kitab As-Sunan, Al-Zuhud, Ijabat ‘an Shalawat Al-Ajurri, As’ilah ‘an Ahmad bin Hanbal, Tasmiyat Al-Ikhwan, Kitab Al-Qadr, Al-Ba’ts wa An-Nusyur, Al-Masa’il Al-Lati Khalafa ‘alaiha Al-Imam Ahmad, Dala’il An-Nubawwah, Fadha’il An-Anshar, Musnad Malik, Ad-Du’a, Ibtida’ Al-Wahy, At-Tafaruud fi As-Sunan, Akhbar Al-Khawarij, A’lam An-Nubuwwah, dan As-Sunan.[13]
G.     AT-TIRMIDZI (209 – 279 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Ia adalah salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur. Ia lahir pada 209 H di kota Tirmiz.
Kakek Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmidzi dan menetap di sana. Di kota inilah, cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecil, Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah, ia mengembara ke berbagai negeri, yaitu Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama besar dan guru hadits untuk mendengar hadits, kemudian menghafalkan dan mencatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru dalam perjalanan menuju Mekah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi, bertukar pikiran, dan mengarang, pada akhir kehidupannya ia mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya, ia hidup sebagai tunanetra. Dalam keadaan seperti inilah, akhirnya At-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892 M) dalam usia 70 tahun.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya kepada Imam Bukhari, ia mempelajari hadits dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan, Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya adalah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Al-Musanna, dan lain-lain.
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Makhul bin Al-fadl, Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai’bd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ darinya, dan lain-lain.
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui keahliannya oleh para ulama dalam hadits, kesalehan, dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan kecepatan hafalannya adalah kisah berikut yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata, “Saya mendengar Abu ‘Isa At-Tarmidzi berkata, ‘Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekah, dan ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu, aku bertanya-tanya mengenai dia. Mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu maka aku menemuinya. Aku mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika aku telah bertemu dengan dia, aku memohon kepadanya untuk mendengar hadits dan ia mengabulkan permohonanku. Kemudian, ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu, ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan apapun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu, aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu, aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah engkau telah hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak’ jawabku. Kemudian, aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Kemudian, ia membacakan 40 buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau gharib. Lalu ia berkata, ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi’, Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau’.”
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, serta mengakui kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad bin Hibban, kritikus hadits, menggolongkan Tirmidzi ke dalam kelompok ‘Tsiqat’ atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya. Ia berkata, “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits, dan ber-muzakarah­ (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la Al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan bahwa Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik, yang telah diakui para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi panutan dan berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih merupakan bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya, dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang megetahui kelemahan-kelemahan dan rawi-rawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang memiliki wawasan dan pandangan luas. Barang siapa yang mempelajari kitab Jami’-nya, ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mahzab fiqh. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut, “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda, ‘Penangguhan membayar piutang yang dilakukan oleh si berutang yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut, “Sebagian ahli ilmu berkata, ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada ‘muhil. Dictum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata, ‘Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).’ Mereka memakai alasan dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan, ‘Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.’ Menurut Ishaq, perkataan ‘Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim’ ini adalah, ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang itu tidak mampu, tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu’.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dlaam memahami nash-nash hadits, serta betapa luas dan orisinil pandangannya itu.[14]
Imam Tirmidzi banyak menuis kitab, di antaranya Al-Jami’ Al-Mukhtasar min As-Sunan ‘an Rasul Allah, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi, Tawarikh, Al-‘Ilal, At-Tarikh, Al-‘Ilal Al-Kabir, Asy-Syama’il An-Nabawiyyah, Az-Zuhd, Asma’ Ash-Shahabah, Al-Asma’ wal-Kunya, Al-Atsar Al-Mauqufah. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar, dan terkenal serta beredar luas adalah ­Al-Jami’.[15]
H.     IBN MAJAH (207 – 273 H)
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam hadits yang terkenal dengan sebutan neneknya ini adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i Al-Qazwini Ibnu Majah. Ia dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H (824 M). Ia wafat hari selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H (887 M).
Sebagaimana halnya para Muhaditsin yang dalam mencari hadits-hadits memerlukan perantauan ilmiah, ia pun berkeliling di beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadits kepada para ulama hadits.
Dari tempat perantauannya itu, ia bertemu dengan murid-murid Imam Malik, dan Al-Laits, dan dari merekalah, ia banyak memperoleh hadits. Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh orang banyak.
Ibnu Majah menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Sunan ini merupakan salah satu sunan yang keempat. Dalam Sunan ini banyak terdapat hadits dhaif, bahkan tidak sedikit hadits yang munkar.
Al-Hafidh Al-Muzy berpendapat bahwa hadits-hadits gharib yang terdapat dalam Sunan ini adalah dhaif. Karena itulah, para ulama mutaqaddimin memandang bahwa kitab Muwaththa Imam Malik menduduki pokok kelima, bukan Sunan Ibnu Majah.
Selama hidupnya, Ibnu Majah banyak menghasilkan karya, di antaranya Tafsir Al-Quran Al-Karim, At-Tarikh, dan Sunan Ibnu Majah.[16][]
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mustofa, 1992. Metodologi Kririk Hadits. Terj.
A.      Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Soetari, Endang, 2005. Ilmu Hadis : Kajian Diriwayah dan Diriyah.
         Bandung: Mimbar Pustaka.
Solahudin, Muhammad; Agus Suyadi, 2009. Ulumul Hadis.
         Bandung: Pustaka Setia.


BAB I
PENDAHULUAN
       A.      Latar Belakang
Islam adalah sistem nilai dan ajaran illahiyah yang bersifat transendental. Sebagai suatu sistem universal, Islam akan selalu hadir dinamis dan menyegarkan serta akan selalu mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Hal ini didasarkan pada sumber ajaran Islam yang kokoh yaitu Alquran, Hadits, dan Ijtihad.
Alquran adalah firman Allah SWT yang di dalamnya terkandung ajaran pokok untuk keperluan seluruh aspek kehidupan. Sunnah adalah segala sesuatu yang diidhafah-kan kepada Muhammad Saw yang berisi petunjuk  (pedoman) untuk kemaslahatan hidup umat manusia.
Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam. Alquran dan Sunnah telah menjadi fokus perhatian umat Islam sejak zaman Nabi sendiri sampai sekarang. Namun berbeda dengan Alquran, perkembangan Sunnah tidak semulus Alquran. Berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring pertumbuhan studi terhadap Sunnah itu sendiri.
Keraguan  tersebut  lebih  memuncak  ketika  munculnya  golongan yang mengingkari Sunnah (inkarussunnah). Kelompok ini  memiliki argumentasi sendiri atas sikap mereka itu. Berdasar dengan argumen di atas maka dibuatlah makalah ini agar kita dapat memahami tentang sunnah  menurut para pengingkarnya.

B.       Rumusan Masalah
1.             Apa pengertian dari inkarussunnah
2.             Bagaimana sejarah dari inkarussunnah
3.             Bagaimana klasifikasi dari inkarussunnah
4.             Siapa tokoh-tokoh ingkarussunnah serta pemikirannya di Indonesia

C.      Tujuan
1.             Untuk mengetahui pengertian dari inkarussunnah
2.             Untuk memahami sejarah dari inkarussunnah
3.             Untuk mengetahui klasifikasi dari inkarussunnah
4.             Untuk mengetahui tokoh-tokoh ingkarussunnah serta pemikirannya di Indonesia
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ingkarussunnah 
     Secara bahasa kata Ingkarussunnah terdiri dari dua kata yaitu ”Ingkar” dan ”Sunnah” yang mempunyai arti ”Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al-’irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati)”.
      Singkatnya, ”Ingkar” secara terminologis berarti menolak, tidak mengetahui, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain-lain. Sedangkan kata ”sunnah” menurut bahasa adalah jalan yang dijalani, baik terpuji atau tidak.
     Secara istilah definisi Ingkarussunnah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya adalah sebagai berikut: 
1.   Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran. 
2.     Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa Ingkarussunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran. Paham Ingkarussunnah bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah mutawatir dan sunnah ahad atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian. Demikian pula penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadis yang ia dapatkan, atau hadis itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya, atau karena ada tujuan syar’i yang lain,maka tidak digolongkan Ingkarussunnah.

B.       Sejarah Ingkarussunnah 
       Sejarah perkembangan Ingkar Sunnah hanya terjadi pada dua masa yaitu masa klasik dan masa modern. Sedangkan pada masa pertengahan Ingkar Sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluasakan kolonialismenya ke negara-negara Islam dengan menaburkan fitnah dan mencoreng citra agama Islam. 
       1.         Ingkar Sunnah pada Masa Klasik
       Ingkar Sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H.) yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawâtir atau âhâd. Imam Syafi’i yang dikenal sebagai Nâshir As-Sunnah (pembela Sunnah) pernah didatangi oleh orang yang disebut sebagai ahli tentang madzhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah, baik mutawâtir atau âhâd. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan.Namun semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’idengan jawaban yang argumentatif, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.
       Ingkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte-sekte Islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya dengan mencaci para sahabat dan melemparkan hadits palsu. Ingkar sunnah klasik hanya terdapat di Bashrah Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam, tetapi setelah diberikan penjelasan akhirnya menerima kehujahannya. 
       2.         Ingkar Sunnah pada Masa Modern 
       Pemikiran mengenai penolakan sunnah muncul kembali pada abad ke epat belas Hijriyah setelah pada abad ke tiga pemikiran seperti itu lenyap ditelan zaman. Mereka muncul dengan bentuk dan penampilan yang jauh berbeda dari inkar sunnah priode klasik, yang mana kemunculan mereka lebih terpengaruh pada pemikiran kolonialisme yang ingin menghancurkan dunia Islam. Inkar al-sunnah masa ini muncul dalam bentuk golongan yang terorganisi yang mempunyai pemimpin atau tokoh-tokoh dalam ajaran mereka, yang mana tokoh-tokoh mereka menyebut dirinya sebagai Mujtahid atau pembaharu. Bahkan saat mereka mengetahui bahwa ajaran mereka salah mereka tidak lantas sadar seperti inkar al-sunnah periode klasik, tetapi terus mempertahankan dan menyebarkan walaupun pemerintah setempat telah mengeluarkan larangan resmi atas ajaran mereka.
       Menurut Mustafa Zami dalam buku yang ditulis Agus Solahudin menuturkan bahwa Inkar As-Sunnah modern lahir di Kairo, Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323H). Dengan kata lain Dialah yang pertama kali melontarkan gagasan Inkar As-Sunnah pada masa modern. Salah satu yang menarik dari Syeikh Muhammad Abduh bahwa ia mengingkari eksistensi hadits ahad sebagai dalil ketauhidan. Namun masih menjadi perdebatan para ulama tentang apakah orang yang mengingkari hadits ahad sebagai dalil tauhid dapat dikatakan sebagai pengingkar sunnah (inkar as-sunnah) atau bukan.

C.      Klasifikasi Pengingkar Sunnah 
Ada tiga kelompok pengingkar sunnah, yaitu: 
1.    Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Alquran saja yang dapat dijadikan hujjah. 
2.      Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Alquran. 
3.      Hanya menerima sunnahmutawâtir saja dan menolak selain mutawâtir yakni sunnah âhâd.
       Namun dengan adanya kelompok pengingkar sunnah ini diselingi pula dengan munculnya argumen dan bantahan Ingkar Sunnah, antara lain: 
1.    Argumen Ingkar Sunnah 
      Memang cukup banyak argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar as-sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman al-Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang banyak jumlahnya itu, ada yang berupa argumen-argumen naqli (ayat Al-Qur’an dan hadis) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli. Dalam uraian ini, pengelompokan kepada dua macam argumen tersebut digunakan.
 a.       Argumen-argumen naqli 
       Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadis Nabi. Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berpaham inkar as-sunnah ternyata telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka.
b.        Argumen-argumen non naqli 
       Yang dimaksud dengan argumen-argumen non-naqli adalah argumen-argumen yang tidak berupa ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis. Walaupun sebagian dari argumen-argumen itu ada yang menyinggung sisi tertentu dari ayat Al-Qur’an ataupun hadis Nabi, namun karena yang dibahasnya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, maka argumen-argumen tersebut dimasukkan dalam argumen-argumen non-naqli juga.
Adapun argumen lain terhadap ingkar sunnah yaitu :
1.      Agama Bersifat Kongkret dan Pasti 
    Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila kita memanggil dan  memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
(QS. Al Baqarah ayat 1-2)


Artinya : Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS. Al-Fatir ayat 31)

Artinya : Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu Yaitu Al kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha mengetahui lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. 
Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadis –khususnya hadis ahad- bersifat dhanni (dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada paringkat pasti. Karena itu, apabila agama Islam berlandaskan hadis –dismping Al-Quran- Islam akan bersifat ketidak pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam Firman-nya. 
2.   Al-Quran Sudah Lengkap 
Dalam syarit Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT berfirman: QS. Al-An’aam ayat 38

Artinya : Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran). 

Jika kita berpendapat Al-Quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tutas. Padahal, ayat diatas membantah Al-Quran masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah di ambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. 
3.   Al-Quran Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Qur'an tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya merupakan penjelasan terhadap segala hal. QS. An-Nahl 89 :
Artinya : (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara keseluruhan.
2.      Bantahan Ingkar Sunnah 
      a.         Bantahan terhadap Argumen Pertama
      Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni ( dugaan kuat ) sedang kita di haruskan mengikuti yang pasti ( yakin ), masaklahnya tidak demikain. Sebab , Al-qur’an sendiri meskipun kebenarannya sudah di yakini sebagai Kalamullah- tidak semua ayat memberikan petunjuk hukumyang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih Dzanni ( Ad-dalalah ). Bahkan, orang yang memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat menyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti ( yakin ). Dengan demikian, berarti Ia jga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat( dzanni Ad-dalala).
     Adapun firman Allah SWT :
Artinya : Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. ( Q.S.Yunus: 36). 

Yang di maksud dengan kebenaran ( Al-haq) di sini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi, maksud ayat ini selengkapnya adalah,bahwa dzanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap denagn pasti, sedangkan dalam hal menerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untuk membantah orang-orang yang menolak hadis ahad, abu Al- husain al- basri Al mu’tazili mengatakan,”dalam menerima hadis- hadis ahad, sebenarnya kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharuskan untuk menerima hadis itu” jadi, sebenarnya kita tidak memakai dzanni yang bertentangan dengan haq, tetapi kita mengikuti atau memakai dzanni yang memegang perintah Allah.
b.        Bantahan terhadap Argumen Kedua dan Ketiga
Kelompok pengingkar sunnah,baik pada masa lalu maupun belakangan, umumnya ‘ kekurangan waktu ‘ dalam mempelajari Al- Qur’an. Hla itu di karena merka kebanyakan hanya memakai dalil.
QS. An- Nahl 89 :
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Berdasarkan teks Al-qur’an, rasulullah saw. Sajalah yang di beri tugas untuk menjelaskan kandungan Al-qur’an, sedangkan kita di wajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun larangan. Semua ini bersumber dari Al-qur’an. Kita tidak memasukkan unsur lain ke dalamAl-qur’an sehingga masih di Anggap memiliki kekurangan. Hal ini tak ubahnya  seperti orang yang di beri istana yang megah yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidakmau memakai lampu sehingga pada malam hari, istana itu gelap.sebab, menurut dia, istana itu sudah paling lengkap dan tidak perlu hal-hal lain. Apabila istana itu di pasang lampu-lampu dan lain-lain,berrarti iamasih memelurkan masalah lain, sebab kabel-kabel lampu mesti di sambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar. Akhirnya ia menganggap bahwa gelap yang terdapat dalamistana itu sebenarnya sudah  merupakan cahaya.

D.      Tokoh-Tokoh Ingkar Sunnah dan Pemikirannya di Indonesia
1.      Ir. M. Ircham Sutarto 
      Ir. M. Ircham Sutarto  adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia  di Cibubur Jawa Barat.  Menurut Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang menulis diktat dengan tulisan tangan.
Di antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan  dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a.     Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya.
b.    Allah telah mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal dalam ajaran agama.
c.       Al- Qur’an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan  kepada Rasul.
d.    Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan keterangan  yang disebut  al-sunah atau hadis.
e.    Semua keterangan yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis Nabipun termasuk hawa. Karena itu tidak dapat diterima  sebagai hujah dalam agama.
2.      Abdurrahman
      Diantara ajarannya :
a.         Tidak ada adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib.
b.         Seluruh salat masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c.    Puasa Ramadhan  hanya dilaksanakan bagi yang melihat bulan  saja berdasarkan QS. Al-Baqarah. Pada ayat ini bahwa yang wajib berpuasa adalah yang melihat bulan saja,  bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya
3.      Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
      Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia)  dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah  dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel  maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia.
4.      As’ad bin Ali Baisa
      Diantara ajarannya sebagai berikut :
a.       Shalat Jum’at harus dikerjakan  4 rakaat.
b.      Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid harus melakukan shalat.
c.     Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d.   Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja.
e.       Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan 
1.     Inkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah. Ingkar menurut bahasa artinya “menolak atau mengingkari”, berasal dari kata kerja ankara-yunkiru. Sedangkan sunnah menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak”. 
2.    Ingkar sunnah terjadi dalam dua periode atau zaman yaitu zaman klasik dan zaman modern. Keduanya memiliki tokoh-tok penting yang berperan dalam pengembangan ingkar sunnah 
3.      Ada tiga kelompok pengingkar sunnah. Pertama,Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Alquran saja yang dapat dijadikan hujjah.Kedua,Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Alquran.Ketiga,Hanya menerima sunnahmutawâtir saja dan menolak selain mutawâtir yakni sunnah âhâd. 
4.      Tokoh-Tokoh Ingkar Sunnah antara lain Ir. M. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu serta As’ad bin Ali Baisa
B.       Saran
Dari makalah ini penulis berharap kepada pembaca, dapat memberikan kritik dan saran dalam pembahasan makalah ini. Agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan sebagai bahan penambahan wawasan dan pengetahuan yang lebih bermanfaat untuk orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin, Muhammad, Agus Suyadi.2008. Ulumul Hadis. Bandung:Pustaka Setia.
Ismail, Syuhudi.1991. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:Angkasa.
Mudasir.2010. Ilmu Hadis. Bandung:Pustaka Setia.
Suyitno.2006. Studi Ilmu-Ilmu Hadis.Palembang:IAIN Raden Fatah